Diar beserta Pak Riki memasuki ruangan seminar. Ternyata Dito salah satu narasumber seminar tersebut. Diar tak bisa konsentrasi sama materi yang dibawakan saat seminar. Bagaimana ia konsentrasi, lelaki yang berusaha dia lupakan kini muncul kembali dihadapannya. Lelaki yang tiba-tiba pergi sekarang datang kembali.
Diar tak mampu menatap ke arah lelaki tersebut. Ia hanya memainkan bolpoinnya di atas kertas, berusaha menepis bayangan-bayangan silam yang perlahan muncul. Sadar Diar, sadar. Dia hanya masa lalu yang sudah dimiliki orang lain.
“Diar, kamu mikirin apa sih? Saya perhatikan dari tadi kamu malah asik sendiri sama kertas dan bolpoin”. Pak Riki mulai berkomentar dengan apa yang aku lakukan.
“Aaaa...aanu pak...”, jawab Diar gelagapan karena kaget kalau ternyata sikapnya diperhatikan oleh Pak Riki.
“Kamu harus fokus ya, ingat nanti hasil seminar kamu yang presentasikan ulang di kantor. Jadi, kamu harus perhatikan betul-betul”.
“Baik pak, maaf ya pak”.
Fokus Diar, kamu lagi kerja. Gak usah pedulikan orang yang telah menyakitimu. Anggap saja dia rekan kerja. Udah, selesai. Diar berusaha menenangkan dirinya, batinnya mulai bergemuruh.
Akhirnya acara seminar selesai juga. Diar bernafas lega, pikirnya akan kembali ke kantor secepat mungkin. Tapi, ternyata tidak. Event pembukaan perumahan yang dibangun perusahaan Diar ternyata bekerjasama dengan Dito.
Perusahaan Dito lah yang akan memasarkannya. Otomatis Dito juga terlibat dalam proyek ini.
***
Ya Allah, harusnya ini cepat ke kantor kenapa malah jadi ngobrol di cafe, batin Diar. Diar mulai gelisah dan tidak tenang.
“Saya Espresso aja ya mbak. Kamu Vanilla Latte kan Diar?”.
Bagaimana bisa dia masih mengingat kopi kesukaanku. Aku kira dia sudah melupakan semuanya termasuk kopi favoritku. Tapi, ternyata...
“Makasih Pak Riki. Saya juga senang bisa bertemu pak Riki dan tim”.
Akhirnya perbincangan kami mulai serius ke arah pekerjaan. Lama-lama aku juga mulai larut dalam pekerjaan.
“Dito, nanti kalau ada apa-apa kamu tanya Diar saja ya. Cukup disini aja ngobrol kita. Kami harus segera ke kantor lagi".
“Baik Pak Riki, terima kasih nih udah traktir saya ngopi di cafe, hehe”.
“Ahh, gak seberapa lah”.
“Diar, saya mau ke toilet dulu ya. Kamu tunggu disini saja dulu”.
Duh si Bos pake acara ke toilet dulu. Situasi macam apa ini gue ditinggal berdua sama laki-laki yang menyebalkan ini.
“Diar, boleh ngomong sebentar gak?”
“Boleh, ngomong aja”.
“Dulu......”, kata Dito mulai mengawali pembicaraan.
“Udahlah Dit, yang dulu mah udah berlalu. Kita fokus aja sama kerjaan kita sekarang”.
“Dengerin aku dulu Di, aku cuman mau minta maaf sama kamu. Aku tahu aku udah banyak salah sama kamu. Aku udah nyakitin hati kamu. Maafin aku ya Di....aku cuman mau minta maaf aja sama kamu kok Di”.
Ya Allah, harusnya ini cepat ke kantor kenapa malah jadi ngobrol di cafe, batin Diar. Diar mulai gelisah dan tidak tenang.
“Saya Espresso aja ya mbak. Kamu Vanilla Latte kan Diar?”.
Bagaimana bisa dia masih mengingat kopi kesukaanku. Aku kira dia sudah melupakan semuanya termasuk kopi favoritku. Tapi, ternyata...
Hussshh! gak boleh mikir aneh-aneh Diar. Itu kan hal sepele. Orang juga pasti bakal inget lah, Raya juga selalu inget kok. Jadi, bukan karena merasa spesial.
“Aku air putih aja deh pak, tadi sebelum ke kantor aku udah ngopi”.
“Haha Diar kamu kaya ke siapa aja gak usah lah manggil bapak. Kita kan cuman beda 2 tahun aja, teman di kampus pula”, tawa Dito seperti sedang mencairkan suasana.
“Hehe, iya Dit”, aku berusaha mencairkan suasana juga.
“Aduh duh, Dito sampai tahu kopi kesukaannya Diar ya, saya jadi curiga nih”. Tiba-tiba Pak Riki menatap tajam ke arah saya.
“Ya wajar lah pak, kan kita teman pasti tahu”, tanggapanku sekenanya.
“Oh, iya sih, hehe”.
“Bisa aja nih Pak Riki, oke Pak Riki saya sudah buatkan juga rencana bagaimana nanti pemasarannya. Pak Riki bisa cek disini”, Dito yang mulai mengalihkan Pak Riki ke kerjaan sedikit membantu suasana yang canggung tersebut.
“Wah, ini yang saya suka dari kamu Dit. Masih muda, pintar, kerjanya cepet. Gak salah perusahaan saya bekerja sama perusahaan kamu”, puji Pak Riki.
Aku akui juga Dito memang orang yang sangat pintar, gak heran kalau dia sering dapat beasiswa ketika di kampus dulu. Tidak dipungkiri Aku pun sering dapat bantuan dari Dito kalau lagi belajar.
“Aku air putih aja deh pak, tadi sebelum ke kantor aku udah ngopi”.
“Haha Diar kamu kaya ke siapa aja gak usah lah manggil bapak. Kita kan cuman beda 2 tahun aja, teman di kampus pula”, tawa Dito seperti sedang mencairkan suasana.
“Hehe, iya Dit”, aku berusaha mencairkan suasana juga.
“Aduh duh, Dito sampai tahu kopi kesukaannya Diar ya, saya jadi curiga nih”. Tiba-tiba Pak Riki menatap tajam ke arah saya.
“Ya wajar lah pak, kan kita teman pasti tahu”, tanggapanku sekenanya.
“Oh, iya sih, hehe”.
“Bisa aja nih Pak Riki, oke Pak Riki saya sudah buatkan juga rencana bagaimana nanti pemasarannya. Pak Riki bisa cek disini”, Dito yang mulai mengalihkan Pak Riki ke kerjaan sedikit membantu suasana yang canggung tersebut.
“Wah, ini yang saya suka dari kamu Dit. Masih muda, pintar, kerjanya cepet. Gak salah perusahaan saya bekerja sama perusahaan kamu”, puji Pak Riki.
Aku akui juga Dito memang orang yang sangat pintar, gak heran kalau dia sering dapat beasiswa ketika di kampus dulu. Tidak dipungkiri Aku pun sering dapat bantuan dari Dito kalau lagi belajar.
“Makasih Pak Riki. Saya juga senang bisa bertemu pak Riki dan tim”.
Akhirnya perbincangan kami mulai serius ke arah pekerjaan. Lama-lama aku juga mulai larut dalam pekerjaan.
“Dito, nanti kalau ada apa-apa kamu tanya Diar saja ya. Cukup disini aja ngobrol kita. Kami harus segera ke kantor lagi".
“Baik Pak Riki, terima kasih nih udah traktir saya ngopi di cafe, hehe”.
“Ahh, gak seberapa lah”.
“Diar, saya mau ke toilet dulu ya. Kamu tunggu disini saja dulu”.
Duh si Bos pake acara ke toilet dulu. Situasi macam apa ini gue ditinggal berdua sama laki-laki yang menyebalkan ini.
“Diar, boleh ngomong sebentar gak?”
“Boleh, ngomong aja”.
“Dulu......”, kata Dito mulai mengawali pembicaraan.
“Udahlah Dit, yang dulu mah udah berlalu. Kita fokus aja sama kerjaan kita sekarang”.
“Dengerin aku dulu Di, aku cuman mau minta maaf sama kamu. Aku tahu aku udah banyak salah sama kamu. Aku udah nyakitin hati kamu. Maafin aku ya Di....aku cuman mau minta maaf aja sama kamu kok Di”.
"Aku juga gak berharap kamu maafin aku Di. Tapi, seenggaknya aku udah bisa dikasih kesempatan untuk minta maaf sama kamu. Kamu mau maafin aku atau enggak, itu hak kamu".
Diar tak menjawab. Bibirnya mendadak menjadi kelu. Diar hanya mampu terdiam menatap kosong ke arah gelas berisi air putih miliknya.
Diar tak menjawab. Bibirnya mendadak menjadi kelu. Diar hanya mampu terdiam menatap kosong ke arah gelas berisi air putih miliknya.
Tak lama Diar menjatuhkan air mata yang dari tadi dia tahan-tahan agar tidak jatuh. Diar mulai menangis sesenggukan teringat kembali masa-masa Dito dan Diar bersama. Kenangan manis dan pahit datang silih berganti.
Kejadian yang cukup lama tapi masih membekas sampai sekarang. Kejadian yang sangat berat bagi Diar yang sudah menaruh harapan pada laki-laki berkulit putih di hadapannya.
Kejadian yang cukup lama tapi masih membekas sampai sekarang. Kejadian yang sangat berat bagi Diar yang sudah menaruh harapan pada laki-laki berkulit putih di hadapannya.
Bersambung....
Posting Komentar
Posting Komentar