Ketika hamil aku sering bertanya-tanya seperti apakah wajah anakku nanti. Apakah dia lebih mirip dengan wajahku atau suamiku. Bagaimana bentuk matanya, hidungnya, bibirnya, telinganya, postur tubuhnya. Kadang aku membagikan imajinasi dengan suamiku dan dia dengan bangga menjawab "ya seperti akulah wajahnya, pokoknya semua seperti aku". Aku hanya tersenyum tipis mendengar jawabannya. Bagaimanapun wajahnya nanti, aku akan tetap menyayanginya, aku akan tetap bangga padanya.
Ini hamil pertamaku. Hamil setelah 16 bulan pernikahanku.
Cukup lama memang dan cukup membuat aku dan suami mendengar banyak pertanyaan,
kritik dan saran dari orang lain mengapa kami sudah menikah satu tahun tapi
juga belum memiliki momongan. Teman-teman kami yang menikah setelah kami, bahkan
sudah memiliki momongan yang lucu. Awalnya pertanyaan itu terdengar biasa saja
ditelingaku, tapi lama-lama cukup membuatku resah. Ketika pada suatu hari aku
sedang berbelanja disebuah toko, seseorang menyarankan padaku untuk
membersihkan rahimku didepan banyak orang, karena takut kenapa-kenapa katanya.
Disitu aku langsung tertegun dan mencoba menahan air mataku untuk tidak jatuh
didepan banyak orang. Aku kembali ke rumah dan menceritakan semua yang terjadi
pada suamiku.
Memangnya apa yang salah dengan rahimku? Aku baik-baik saja.
Tidak ada yang salah denganku dan haidku lancar saja. Sampai suatu hari aku
mengalami ketidaklancaran haid, aku check up ke dokter kandungan dan
Alhamdulillah tidak ada yang salah, tidak harus dibersihkan seperti yang orang
tersebut katakan padaku. Perihal mempunyai keturunan, aku dan suami tidak
begitu ambil pusing, kami menikmati pernikahan kami meski hanya berdua, tapi
kami selalu mencoba untuk memantaskan diri
menjadi orang tua. Agar ketika Allah amanahkan, kami sudah siap menjadi
orang tua, meski belajar itu selalu perlu. Kami juga tidak mau nntinya menjadi
orang tua yang dzalim. Kami berfikir positif, mungkin Allah belum mengamanahi
kami keturunan karena kami belum pantas untuk menjaganya atau Allah ingin
memberikan kami kesempatan untuk memperbaiki diri dan melakukan hal-hal positif
yang lainnya. Satu yang kami yakini, Allah Maha Baik.
Kami saling menguatkan, sehingga kami bisa melalui fase itu
dengan baik. Kami mengikhlaskan apapun yang terjadi sambil fokus melakukan
hal-hal positif. Aku tidak lagi peduli dengan komentar orang lain. Tapi, dalam
hati kecilku tiba-tiba terbesit keinginan memiliki buah hati. Aku meyakinkan
dalam hati apakah benar sudah ada keinginan atau hanya karena omongan orang
saja. Diam-diam aku meminta kepada Allah untuk memiliki keturunan. Disepertiga
malam ku panjatkan doa-doa itu. Dan Qadarullah pada bulan Ramadhan 2019,
Allah menitipkannya didalam rahimku. Disaat kami ikhlas, Allah beri lebih. Aku
mengetahuinya ketika akan bersiap melaksanakan Idul Fitri. Sebelum membersihkan
diri, aku mencoba sebuah test pack. Dan hasilnya menunjukkan sebuah garis
berjumlah dua. Sebuah kemenangan pada keluarga kami. Betapa bahagianya aku saat
itu.
Aku tidak menyangka mendapatkan karunia sebesar ini. Kami
sungguh terharu. Tapi tentu saja menjalani kehamilan ini tidak mudah. Kondisi
kehamilanku yang lemas dan mual membuatku tidak banyak melakukan aktivitas. Aku
lebih banyak berbaring di tempat tidur. Juga berdoa agar Allah selalu memberiku
kesabaran dan kekuatan untuk janinku. Trimester pertama, dokter menyarankanku agar banyak istirahat karena kondisi badanku yang lemas. Lanjut trimester kedua, mulai ada perubahan dengan kondisiku yang
lemas menjadi semakin membaik. Aku tidak lagi mual melihat dan mencium bau
nasi. Aku sudah mulai memakan makanan yang aku suka, keadaan sudah normal
kembali. Dan perutku pun mulai terlihat. Pada fase inilah janin mulai aktif
menendangku. Menunjukkan kepadaku bahwa dia "benar-benar ada".
Tendangan pertama membuatku menangis, betapa haru dan bahagianya aku bisa
merasakan ini. Aku mencoba berkomunikasi dengan mengajaknya bicara. Tibalah
dipenghujung trimester, aku mulai merasakan banyak keluhan. Mulai dari tangan
kesemutan, cepat lelah, kontraksi palsu sampai kaki bengkak. Ketiga trimester
tersebut akhirnya bisa dilalui dengan baik. Meski tidak mudah, rasa sakit
menjelang persalinan dikalahkan dengan rasa bahagia dan syukur sudah diberikan
kepercayaan sebesar ini. Aku dan suami sudah tidak sabar menyambut sang buah
hati, yang dokter perkirakan berjenis kelamin laki-laki ini.
Pada minggu malam menjelang persalinan, sakit di pinggang
terasa semakin kuat. Aku bertanya-tanya apakah ini saatnya aku melahirkan, atau
persalinanku sudah semakin dekat. Esok paginya suami menemaniku ke bidan untuk
kontrol kehamilanku. Saat itu bidan mengatakan sudah pembukaan satu. Kepala
bayi sudah dibawah, aku hanya tinggal menunggu pembukaan-pembukaan selanjutnya
dan akan merasakan kontraksi yang semakin kuat. Tak lupa bidan berpesan agar
aku semakin rajin berjalan kaki untuk merangsang bayi agar mudah meluncur. Setiap
hari aku berjalan pagi, baik pagi maupun sore, baik didalam maupun diluar
rumah. Juga melakukan senam yang memudahkan persalinan nanti. Kontraksi semakin
kuat, sehingga aku sudah tidak nyaman lagi berbaring, duduk atau melakukan
aktivitas lain. Karena tidak ada tanda lain selain rasa sakit, aku hanya bisa
menunggu dirumah, sampai saatnya selasa malam setelah melaksanakan shalat isya,
keluar darah pada vaginaku. Aku memberitahu suamiku yang saat itu sedang
membuat laporan. Suamiku mengatakan bahwa aku jangan panik, tapi
ketahuilah aku sungguh sama sekali tidak panik, justru inilah momen yang aku
tunggu agar aku bisa segera pergi ke bidan untuk melahirkan. Justru yang
terlihat panik itu suamiku. Lucu sekali kalau ingat wajahnya saat itu.
Suamiku langsung menghubungi bu bidan yang menanganiku, tapi saat itu kebetulan
bidan telah melakukan tes swab, jadi tidak bisa menangani pasien karena
hasilnya belum keluar. Karena beliau khawatir hasilnya positif dan dapat
mempengaruhi persalinanku. Kami pun pergi ke puskesmas. Bidan memeriksaku dan
pembukaan naik menjadi pembukaan dua. Jam berlalu, tapi pembukaanku tak kunjung
naik dengan cepat, sedangkan kontraksiku semakin lama semakin kuat. Akhirnya
bidan memeriksa pembukaanku setiap empat jam sekali. Malam telah aku lewati,
dengan tidak tidur. Bagaimana aku bisa tidur, sementara aku sedang menahan
kontraksi yang begitu sakit. Siangnya dokter mengobservasiku. Semua sehat,
tidak ada yang salah. Aku hanya tinggal menunggu pembukaan lengkap. Jam terasa
lama berputar, rasa sakit semakin menjadi. Suamiku dengan sabar terus mengajakku
bercanda agar aku sedikit melupakan rasa sakit dan tetap semangat. Dia
menemaniku berjalan kaki dan membantuku melakukan gerakan untuk mempercepat
pembukaan. Malam tiba, pembukaan akhirnya sempurna dan ketuban pun pecah.
Pakaian bayi sudah disiapkan dan proses melahirkan pun dimulai. Tapi, kepala
bayi tidak juga masuk ke jalur pembukaan. Dan hasil mengejanku tidak juga
membuat kepala bayi meluncur. Bidan mengatakan akan bertanya pada dokter
terkait kondisiku seperti ini. Selesai berdiskusi, bidan memutuskan aku harus
dirujuk ke rumah sakit untuk ditangani lebih lanjut.
Rumah sakit terdekat tidak bisa digunakan untuk persalinan
karena dokter sedang tidak ada dan rumah sakit yang lain sedang digunakan untuk
pasien covid-19. Rumah sakit yang tersedia untuk persalinan cukup jauh dari
rumah kami. Kami pun bersiap pergi ke rumah sakit tersebut menggunakan
ambulance. Sebelum pergi, aku dites rapid terlebih dahulu dan kembali dicek kondisi kesehatannya. Infusan dipasangkan ditangan kiriku dan kateter untuk
memudahkanku buang air kecil. Pertama kali pakai kateter dan naik ambulance.
Sepanjang perjalanan terasa lama dan menegangkan. Semua diam membisu.
Sesampainya di rumah sakit aku langsung dilarikan ke ruang UGD, dites rapid
lagi dan diperiksa kembali kondisi kesehatannya.
Tiba-tiba aku harus tanda tangan sebuah berkas. Aku.pikir
terkait administrasi ternyata itu keterangan menyetujui kalau aku harus operasi
caesar. Aku ikhlas, yang terpenting saat ini adalah yang terbaik untukku dan
anakku. Berdoa semoga Allah mudahkan dan berikan aku kesempatan untuk menjaga
anakku nanti.
Waktu berputar begitu cepat. Perawat dengan gesitnya
membawaku ke ruangan operasi. Aku hanya bisa pasrah, lillahi ta'ala apapun yang
terjadi itu sudah pasti yang terbaik. Aku berusaha tetap tenamg dan selalu
menjaga afirmasi positifku. Menjelang persalinan, selain menyiapkan keperluan
bayi, aku juga menyiapkan mentalku untuk melahirkan normal dan berjaga jika aku
harus melahirkan dengan cara operasi caesar. Karena melahirkan adalah proses
yang paling beresiko, kita sudah berusaha yang terbaik dengan menjaga
kehamilan, tapi kita tidak pernah tau apa yang terjadi nanti.
Diruang operasi, dokter kembali mencoba proses melahirkan
dengan normal. Tapi tetap tidak bisa dan akhirnya dokter benar-benar memutuskan
untuk operasi caesar. Saat dimulai proses operasi, tak hentinya aku melantunkan
dzikir kepada-Nya memohon dimudahkan proses operasi. Ternyata tidak
semenegangkan yang aku pikirkan, didalam ruangan diciptakan suasana yang
menyenangkan dengan diputarnya lagu-lagu pop serta suara dokter dan perawat
layaknya seperti sedang mengobrol biasa. Itu cukup membantuku menambah energi
positifku untuk tidak takut menjalani operasi.
Pukul 02.25, tangisan itu menggelegar diruangan. Tangisan
bayi yang paling kencang ketika lahir di hari Kamis saat itu. Tangisan yang
membuatku haru ingin menangis ketika muka bayi lucu itu diperlihatkan kepadaku.
Ingin memeluknya saat itu juga, tapi bayi langsung dibawa keluar ruangan untuk
dipindahkan ke ruangan bayi. Yang sebelumnya ketika keluar dari ruangan
operasi, diperlihatkan kepada suamiku untuk diadzankan. Alhamdulillah, proses
operasi berjalan dengan lancar. Dan aku langsung dibawa ke ruangan sementara,
menunggu ruang rawat inap kosong.
Tiba-tiba suamiku datang, langsung memelukku dan menciumku.
Tak hentinya dia mengatakan maaf dan terima kasih sudah berjuang demi anak kami.
Dia selalu bilang kalau bisa sakit yang aku rasakan dipindahkan saja ke dia,
agar dia yang rasakan sakitnya. Ahh, suamiku! Selalu saja dia membuat aku tertawa
dengan tingkah lucunya. Beruntung, suamiku selalu ada disisiku. Memberikan
waktunya untuk menjagaku, menghiburku juga mengingatkanku tentang mimpi-mimpi
kami. Mimpi kami bersama anak kami.
Selama satu minggu itu lah, moment yang membuat aku merasa
paling bahagia dan terharu. Bahkan tulisan ini pun masih belum cukup mengungkapkan
betapa bahagianya aku. Membuatku berpikir bahwa memiliki keturunan tidak
semudah hanya keinginan dan meminta. Tapi lebih dari itu, banyak pihak yang
dilibatkan dan direpotkan. Aku bersyukur, selama proses ini ditemani keluargaku
dan keluarga suami. Keluarga besar kami. Semoga kami bisa menjadi orang tua yang baik bagi bayi
laki-laki yang kami beri nama Alqan Harith Ilaanbadruddin. Dan harapan kami
sesuai namanya menjadi laki-laki yang cerdas, bijaksana, hadiah dari Allah
menjadi bulan purnama agama.
***
Tulisan ini dibuat untuk aku mengenang kembali momen indah itu. Kelak jika Aqlan membaca ini, aku berharap bahwa dia bisa menghargai perempuan, terlebih perempuan yang sudah melahirkannya. Dan merasakan betapa kami orang tuanya sangat menyayanginya dan menunggu kehadirannya di bumi.
Posting Komentar
Posting Komentar