Perkawinan. Kata yang satu itu sudah tidak asing kita dengar atau
lihat di masyarakat. Tapi, mungkin sebagian orang belum memahami makna dari perkawinan
itu sendiri. Esensi dari perkawinan apa dan tujuannya untuk apa. Banyak aspek
yang meninjau makna perkawinan tersebut. Yang pertama tentu dasar hukum atau
landasan perkawinan. Karena negara kita negara hukum, segala sesuatunya diatur
oleh hukum, maka termasuk urusan pedata agama khusus (agama) pun dalam hal ini
masalah keluarga juga diatur di dalamnya. Terlepas dari hukum Islam dan hukum
adat yang juga ikut mengikatnya. Yang ingin saya tekankan disini adalah dari
segi undang-undangnya yang sebagian masyarakat mungkin belum mengetahuinya.
Ini dia yang mungkin sebagian masyarakat adat kurang mengenal peraturan
perundangan yang satu ini. Menurut saya, Undang-Undang ini lebih familiar
dilingkungan akademisi hukum saja tapi kurang menyentuh di masyarakat. Artinya,
yang selama ini masyarakat pahami adalah yang terpenting selama perkawinan
tidak melanggar atau menyalahi aturan hukum Islam dan hukum adat setempat serta
sudah mengikuti tata administrasi perkawinan dengan benar tanpa harus
mempelajari atau memahami Undang-Undang Perkawinan, Perkawinan sudah dianggap
benar. Sah saja memang, tidak ada yang
salah, tapi alangkah baiknya perkawinan tidak hanya karena sekedar menghalalkan
yang haram menjadi halal tetapi lebih sempurna jika perkawinan juga dibekali
dengan ilmu pengetahuan. Agar terciptanya keluarga yang tentram dan harmonis
serta melestarikan keturunan.
Saya ingin mengurai terlebih dahulu makna perkawinan menurut Undang-Undang
No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1 Tahun 1974 yang berbunyi bahwa
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ada lima unsur didalamnya;
Ikatan lahir batin, antara seorang pria dan wanita, sebagai suami istri,
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.
Pertama, ikatan lahir batin, keduanya harus dipenuhi tidak bisa
salah satunya saja. Ikatan lahir, yaitu sesuatu yang terlihat seperti pemberian
nafkah dari suami, tentu dengan kesanggupan suami dan dengan ridha istrinya.
Sedangkan batin, yaitu yang tak nampak, seperti hubungan suami istri demi
menjaga keharmonisan atau romantisme keluarga. Yang kedua, antara seorang pria
dan seorang wanita. Seorang saja, tidak usah banyak-banyak sesuai Pasal 3 ayat
(1) Undang-Undang Perkawinan, bahwa “Pada asasnya seorang pria hanya boleh
memiliki seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami”. Emang
bisa “adil” bang? mas? pak? Upppssss. Karena hakikatnya tidak akan pernah bisa
manusia memenuhi konteks “adil” tersebut. Dan sesuanngguhnya surat An-Nisa ayat
3 bukan membolehkan suami berpoligami, tetapi justru memotivasi suami agar
semangat mencari rezeki supaya terpenuhinya kebutuhan lahir dan batin untuk
istrinya. Intinya utuk menjaga keharmoniasan keluarga. Antara seorang pria dan wanita
ya, bukan lelaki dengan lelaki atau wanita dengan wanita. Diberi kenikmatan
terhadap lawan jenis sama Allah kok masih ada saja yang nolak, heran.
Ketiga, sebagai suami istri tentunya perlu diperhatikan hak-hak dan
kewajiban satu sama lain. Karena keluarga tidak bisa “masing-masing” tapi harus
“saling”. Saling menyayangi, saling mencintai, saling mneghargai dan menghormati
satu sama lain. Memahami akan kedudukan dan tugas masing-masing. Hak dan
Kewajiban suami istri diatur dalam BAB VI tentang Hak dan Kewajiban Suami
Isteri dalam pasal 30, bahwa “Suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk
menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat”. Selain
dalam Undang-undang Perkawinan, diatur juga dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam)
dalam Pasal 77 dan 78. Pasal 77 ayat (1) bahwa “Suami isteri memikul kewajiban
yang luhur untuk meneggakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah
yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
Kalau Undang-Undang Perkawinan saja masih asing, apalagi dengan
Kompilasi Hukum Keluarga Islam (KHI). Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 ini
ditunjuk kepada Menteri Agama agar menyebarluaskan bagi instansi Pemerintah dan
masyarakat yang memerlukan. KHI ini termasuk hukum positif di lingkungan
Pengadilan Agama, dalam pengembangan hukum Islam dalam bentuk yurispudensi.
Undang-Undang Perkawinan dan Kompiasi Hukum Islam inilah dua peraturan yang
seharusnya menjadi pedoman di masyarakat. Lanjut yang keempat, membentuk
keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal. Nah, ini juga termasuk unsur
bathiniah. Jangan sampai ada kata “perceraian” itu. Perceraian termasuk perkara
halal yang paling dibenci Allah. Harus mengingat kembali prinsip-prinsip
perkawinan. Salah satunya perkawinan untuk selamanya bukan perkawinan dalam
jangka waktu tertentu saja. Agar tercipta keluarga yang penuh cinta dan kasih
sayang.
Dan yang terakhir itu berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Maksudnya adalah berdasarkan keyakinan dan kepercayaan yang sama, Muslim
menikah dengan muslim. Bisa dilihat di Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan, bahwa
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu.” Tidak dibenarkan menikah dengan beda agama dan
kepercayaan. Makna perkawinan secara garis besar seperti itu. Lalu, pertanyaan yang
muncul adalah bagaimana mengaplikasikan makna perkawinan di masyarakat sesuai
Undang-Undang Perkawinan? Apakah harus dimaknai dengan pesta perkawinan yang
mewah? Yang bersifat riya atau bahkan terkesan berfoya-foya?
Walimah atau biasa dikenal dengan resepsi pernikahan diadakan
setelah akad pernikahan berlangsung. Tidak perlu mewah karena walimah dalam
Islam dianjurkan tidak berlebih-lebihan. Mengundang tetangga, teman dan kerabat
untuk makan bersama. Tentu disesuaikan dengan kemampuan kedua belah pihak.
Walimah dilarang jika memberatkan kedua belah pihak yang akhirnya menimbulkan
mudhorot. Karena esensi walimah sendiri adalah I’lan, yang artinya mengabarkan.
Adanya walimah ini untuk mengabarkan bahwa sudah terjadinya akad perkawinan
yang menimbulkan hukum bagi suami istri. Perkawinan harus dikabarkan agar tidak
terjadi fitnah. Walaupun memang dalam undang-undang tidak diatur konsep walimah.
Mungkin ini salah satu alasan mengapa calon suami istri menunda perkawinan
karena merasa belum mampu dalam melaksanakan walimah. Padahal walimah bukan
termasuk Rukun dan Syarat Sah Perkawinan.
Peraturan lain juga memudahkan, Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Tahun 48 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor
47 Tahun 2004 Tentag Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang
Berlaku Pada Departemen Agama Pasal 6 ayat (1) Setiap warga negara yang
melaksanakan nikah atau rujuk di Kantor Urusan Agama Kecamatan atau rujuk di
Kantor Urusan Agama Kecamatan tidak dikenakan biaya pencatatan nikah atau rujuk.
Juga diberi kemudahan bagi masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi, dalam
ayat (3) bahwa “Terhadap warga negara yang tidak mampu secara ekonomi dan/atau
korban bencana yang melaksanakan nikah atau rujuk di luar Kantor Urusan Agama
Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan tarif Rp0,00 (nol
rupiah).
Jadi, kesimpulan yang bisa diambil adalah makna dari perkawinan
yaitu sakinah (ketenangan), mawadah (cinta) dan rahmah (kasih sayang) juga
menghalalkan yang haram dengan menjadi halalnya hubungan suami istri. Dan
esensi dari walimah adalah I’lan yaitu mengabarkan sudah terjadinya perkawinan
yang sah, tidak melakukan perkawinan dengan sembunyi-sembunyi. Mari sama-sama
belajar. Silahkan dikoreksi jika ada kesalahan, silahkan didiskusikan. Wallahualam
bis sowab.
Revisi sedikit ya sist.. Di bagian ketiga dijelaskan ttg hak dan kewajiban. Akn tetapi jika kita lihat kembali pasal 1 Tahun 1974 tdk menyebutkan statement mengenai hak dan kewajiban. Tanpa mengurangi mksd pasal tsb sebaiknya cantumkan kalimat".....membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal.." Pada bagian ketiga, kemudian bisa dilanjutkan pembahasan mengenai bagaimana caranya? Yaitu dgn menjelaskan hak dan kewajiban tsb. Terima kasih :)
BalasHapusWaaaahh terima kasih masukannya 😍 Itu termasuk unsur2 yg sudah dijelaskan di atas "sebagai suami isteri". Kalau caranya bisa dibaca di UU Perkawinan Bab VI. Mungkin kurang penjabarannya kali yaa. Karena memang yg ditulis disini intisarinya saja 😊
Hapus